Meminta Izin Dalam Menikahkan Seorang Wanita
Bab I
HAK-HAK ANAK PEREMPUAN ATAS AYAHNYA
Pasal 16
Meminta Izin Dalam Menikahkan Seorang Gadis
Imam al-Bukhari rahimahullah telah membuat bab tersendiri dalam kitab Shahiihnya: “Bab Laa Yunkihu al-Abu wa Ghairuhu al-Bikr wats Tsayyib illaa bi Ridhaahaa (Bab Seorang Bapak dan lainnya Tidak Boleh Menikahkan Anak-Anak Gadisnya atau Anaknya yang Janda kecuali dengan Keridhaannya).”
Imam al-Bukhari berkata: Mu’adz bin Fadhalah memberitahu kami, ia berkata: Hisyam memberitahu kami, dari Yahya dari Abu Salamah bahwa Abu Hurairah pernah menyampaikan hadits ke-pada mereka bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ.
“Tidaklah seorang janda dinikahkan sehingga diminta pertimbangannya dan tidak pula seorang gadis dinikahkan sehingga diminta izinnya.”
Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu bagaimana pengizinan seorang gadis itu?” Beliau menjawab, “Yaitu, dia diam.”
“Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai seorang gadis yang akan dinikahkan oleh keluarganya, apakah perlu dimintai pertimbangan?” “Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Ya, dimintai pertimbangannya.” Lalu ‘Aisyah berkata, maka aku katakan kepada beliau, ‘Dia malu.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Demikianlah pengizinannya, jika ia diam.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلثَّـيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِـنْ وَلِـيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْـتَأْمَرُ وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا.
“Seorang janda lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya. Sedangkan seorang gadis dimintai izin dan pengizinannya ada-lah sikap diamnya.” [HR. Muslim].
Dari ‘Aisyah Radhiyallah anha dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Mintalah izin kepada wanita dalam pernikahannya.” Dikatakan kepada beliau, “Sesungguhnya seorang gadis akan merasa malu dan diam.” Beliau bersabda, “Itulah izinnya.” [HR. An-Nasa-i dengan sanad yang shahih].
Pasal 17
Tertolaknya Pernikahan bagi Wanita yang Tidak Berkenan
Imam al-Bukhari rahimahullah telah membuat bab tersendiri: “Bab Idzaa Zawwaja Ibnatahu wahiya Kaarihah fanikaahuhaa Marduud (Bab Jika Seorang Bapak Menikahkan Anaknya, Lalu Menolak, Maka Nikahnya Batal).”
Imam al-Bukhari berkata, Isma’il memberitahu kami, dia ber-kata, Malik memberitahuku, dari ‘Abdurrahman bin al-Qasim dari ayahnya dari ‘Abdurrahman dan Mujammi’, dua putera Yazid bin Jariyah, dari Khansa’ binti Khidam al-Anshariyah bahwa ayahnya pernah menikahkannya sementara dia adalah seorang janda, lalu dia tidak menyukai hal itu, kemudian dia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau pun membatalkan nikahnya.
“Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, dia berkata, “Pernah datang seorang remaja puteri kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berucap, ‘Sesungguhnya ayahku telah menikahkanku dengan keponakannya untuk meninggikan derajatnya.’” Lebih lanjut, dia berkata, “Maka Nabi menyerahkan masalah tersebut kepada wanita itu, maka wanita itu pun berkata, ‘Aku tidak keberatan atas tindakan ayahku, tetapi aku ingin agar kaum wanita mengetahui bahwa para orang tua tidak memiliki hak apa-apa dalam masalah ini.’” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang shahih].
Pasal 18
Menikahkan Anak Perempuan Yatim
Imam al-Bukhari rahimahullaht berkata sebagaimana disebutkan di da-lam kitab Fat-hul Baari (IX/197),
Abu al-Yaman memberitahu kami, ia berkata, Syu’aib memberitahu kami dari az-Zuhri, dan al-Laits juga berkata, ‘Uqail memberitahuku, dari Ibnu Syihab, ia berkata, ‘Urwah bin az-Zubair memberitahu kami bahwasanya dia pernah bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anha, dia bertanya kepadanya, “Wahai bibiku, apa maksud ayat:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ
‘Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.’” [An-Nisaa/4: 3]
‘Aisyah Radhiyallahu anha berkata, “Wahai keponakanku, anak yatim ini berada di dalam tanggungan walinya, lalu walinya itu mengingin-kan kecantikan dan hartanya. Dia juga ingin mengurangi maharnya. Sehingga para wali dilarang untuk menikahi mereka, kecuali jika para wali bisa berlaku adil terhadap mereka dalam menyempurnakan mahar. Dan mereka diperintahkan untuk menikahi wanita-wanita lainnya.”
Pasal 19
Wanita Yatim Tidak Boleh Dinikahkan, Kecuali Setelah Mendapatkan Perizinannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُسْتَأْمَرُ الْيَتِيمَةُ فِي نَفْسِهَا، فَإِنْ سَكَتَتْ فَهُوَ إِذْنُهَا وَإِنْ أَبَتْ فَلاَ جَوَازَ عَلَيْهَا.
“Wanita yatim itu dimintai izin mengenai pernikahan dirinya, jika dia diam, maka itulah perizinannya. Dan jika dia menolak, maka tidak diperbolehkan untuk menikahkannya.” [HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih].
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “‘Utsman bin Mazh’un wafat dan meninggalkan seorang puteri, hasil pernika-hannya dengan Khuwailah binti Hakim bin Umayyah bin Haritsah bin al-Auqash.” ‘Abdullah berkata, “Dan dia berpesan kepada saudara laki-lakinya, Qudamah bin Mazh’un (untuk merawat anaknya) -‘Abdullah mengatakan, ‘Keduanya adalah pamanku (dari pihak ibu)-.” Dia (‘Abdullah bin ‘Umar) mengatakan, “Maka aku datang kepada Qudamah bin Mazh’un untuk melamar puteri ‘Utsman bin Mazh’un. Dan dia pun menikahkan diriku dengannya. Kemudian Mughirah bin Syu’bah datang kepada ibunya (isteri ‘Utsman) dan mengiminginya dengan harta sehingga dia (Khuwailah) pun cenderung padanya dan anak gadis itu pun cenderung pada nafsu ibunya. Kemudian keduanya menolak pernikahan sehingga masalah tersebut disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’
Kemudian Qudamah bin Mazh’un mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, puteri saudaraku telah dititipkan kepadaku oleh ayahnya, lalu aku menikahkannya dengan anak pamannya, ‘Abdullah bin ‘Umar, dan aku tidak menilai kurang dalam hal kebaikan dan kekufu’an padanya, tetapi dia adalah seorang wanita yang cenderung mengikuti nafsu ibunya.”
Lebih lanjut, ‘Abdullah berkata, Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Dia adalah anak yatim dan dia tidak boleh dinikahkan, kecuali dengan seizinnya.’ Dia berkata, ‘Maka dia pun lepas dariku setelah aku berkuasa atasnya, sehingga mereka pun menikahkannya dengan Mughirah bin Syu’bah.’” [HR. Ahmad dengan sanad yang hasan].
[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/73007-meminta-izin-dalam-menikahkan-seorang-wanita.html